Kamis, 10 Juni 2010

Merajut Tali Kesabaran dalam Keluarga

Pada zaman Khalifah Al-Manshur, salah seorang menterinya,

Al-Ashma'i,melakukan perburuan. Karena terlalu asyik mengejar hewan

buruan, ia terpisah dari kelompoknya dan tersesat di tengah padang sahara.



Ketika rasa haus mulai mencekiknya, di kejauhan ia melihat sebuah kemah.

Terasing dan sendirian. Ia memacu kudanya ke arah sana dan menemukan

penghuni yang memukau: wanita muda dan jelita.

Ia meminta air. Wanita itu berkata, "Ada air sedikit,

tetapi aku persiapkan hanya untuk suamiku. Ada sisa minumanku.

Kalau engkau mau, ambillah".



Tiba-tiba wajah wanita itu tampak siaga. Ia memandang kepulan debu dari

kejauhan. "Suamiku datang," katanya. Wanita itu kemudian menyiapkan air

minum dan kain pembersih. Lelaki yang datang itu lebih mudah disebut

"bekas manusia". Seorang tua yang jelek dan menakutkan. Mulutnya tidak

henti-hentinya menghardik istrinya. Tidak satu pun perkataan keluar

dari mulut perempuan itu. Ia membersihkan kaki suaminya, menyerahkan minuman

dengan khidmat, dan menuntunnya dengan mesra masuk ke kemah.



Sebelum pergi,Al-Ashma'i bertanya, "Engkau muda, cantik, dan setia.

Kombinasi yang jarang sekali terjadi. Mengapa engkau korbankan dirimu

Untuk melayani lelaki tua yang berakhlak buruk".



Jawaban perempuan itu mengejutkan Al-Ashma'i, "Rasulullah bersabda, agama

itu terdiri dari dua bagian: syukur dan sabar. Aku bersyukur karena

Allah telah menganugerahkan kepadaku kemudaan, kecantikan, dan perlindungan.

Ia membimbingku untuk berakhlak baik. Aku telah melaksanakan setengah

agamaku.



Karena itu, aku ingin melengkapi agamaku dengan setengahnya lagi, yakni

bersabar."



Kesabaran bisa melahirkan keajaiban. Salah satunya tergambar dalam

kisah di atas. Dengan kesabaran, wanita cantik tadi mampu berbakti kepada

suaminya yang berakhlak buruk. Sesuatu yang terkadang sulit dicerna oleh rasio.



Tidak diragukan lagi, kesabaran adalah satu pilar penting dalam pernikahan

setelah lurusnya niat. Langgeng tidaknya sebuah pernikahan sangat

ditentukan oleh seberapa jauh tingkat kesabaran yang dimiliki suami istri.



Makin banyak bekal kesabaran yang dimiliki, maka akan makin kokoh pula

bangunan pernikahan yang dijalani. Tapi makin sedikit kesabaran yang dimiliki,

maka makin besar pula kemungkinan hancurnya sebuah pernikahan.



Demikian pentingnya sabar dalam pernikahan, ada orang mengatakan, "Bila

sebelum nikah kesabaran kita hanya satu, maka setelah nikah kesabaran

kita harus seratus." Pertanyaannya, kesabaran seperti apa yang harus kita

miliki dalam menjalani pernikahan?





Ada empat macam bidang kesabaran



Pertama, sabar menghadapi kekurangan pasangan. Pernikahan adalah kesimpulan

terakhir setelah seseorang mempertimbangkan semua kekurangan dan kelebihan

pasangan. Tidak pada tempatnya bila setelah menikah seorang suami mengeluhkan

kekurangan yang ada pada istrinya. Demikian pula sebaliknya.

Masing-masing harus menerima kekurangan atau kelebihan pasangannya dengan

penuh kesabaran.



Pernikahan adalah sarana untuk saling melengkapi, bukan untuk saling mengalahkan.

Salah satu hakikat sabar dalam pernikahan adalah menghilangkan keluh kesah pada

saat tidak enaknya menghadapi segala kekurangan. Tidak ada keluh kesah selain

pada Allah SWT.



Karena itu, Rasulullah SAW mengingatkan bahwa siapa saja yang menikah

karena ketampanan atau kecantikan, maka satu saat rupa tersebut akan

menghinakannya. Kecantikan dan ketampanan itu temporer sifatnya, tidak langgeng.

Ketika belum menikah, pasangan kita begitu cantik,tapi setelah punya anak

maka kecantikan itu akan semakin menurun untuk kemudian hilang sama sekali

setelah tua. Tanpa adanya kesabaran, sebuah rumahtangga tidak akan bertahan lama.



Kedua, sabar menghadapi godaan. Rumah tangga itu laksana perahu.

Untuk mencapai pula kebahagiaan di syurga, perahu itu harus berlayar

mengarungi luasnya samudera masalah. Indahnya pernikahan analog

dengan indahnya pantai.



Namun jangan lupa, siapa saja siapa yang bertolak dari pantai untuk

menyeberangi lautan, maka ia akan menemukan ganasnya ombak. Siapa saja

yang tidak membawa bekal dan persiapan yang matang, tidak mustahil bahtera

rumahtangganya akan karam ditelan gelombang.



Nikah adalah ikatan yang teramat suci lagi kuat, mitsaqan ghalidza, sehingga

jangan dinodai dengan saling menyakiti. Dalam Alquran, kata mitsaqan

ghalidza dipakai untuk menyebutkan ikatan antara Allah dengan

rasul-Nya.



Tidak akan pernah sukses seorang suami yang sering menyakiti istrinya.

Walau awalnya bergelimang harta, sukses dalam karier, tapi pada suatu

saat ia akan menemui kehancuran. Begitu pula seorang istri yang tidak taat dan

Selalu menyakiti suaminya, hidupnya tidak akan berkah dan bahagia.



Karena itu, suami istri harus punya komitmen untuk saling setia. Inilah

hakikat mitsaqan ghalidza. Sehingga, menjaga tali pernikahan agar tetap

kokoh adalah jihad akbar. Arasy' tidak akan berguncang saat seseorang

meninggalkan shaum wajib, tidak akan berguncang saat seseorang lalai

dalam shalat, namun ia akan berguncang tatkala sepasangan suami istri

memutuskan untuk bercerai.



Pernikahan itu menandai bersatunya darah daging suami dan istri.

Karena sudah bersatu, maka tidak mungkin lagi ada rahasia. Syurga bisa

terbuka karena pernikahan, dan neraka pun bisa terbuka lebar karena

pernikahan.



Orang yang menyayangi istri atau suaminya, mereka akan disayangi Yang

Maha Penyayang. Rasulullah SAW bersabda, "Orang-orang yang kasih sayang

(al-rahimun) akan dikasihsayangi oleh yang Mahakasih Sayang(Al-Rahman).



Karena itu kasih sayangilah manusia dibumi maka Dia yang di langit akan

kasih-sayang kepadamu".



Ketiga, sabar menghadapi kekurangan dan keterbatasan rezeki. Berapa pun

rezeki yang kita dapat, kita harus mampu mensyukurinya. Dengan syukur

itulah Allah akan menolong rumahtangga kita dan melipatgandakan rezeki yang

kita dapatkan.



Allah SWT berfirman, Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti

Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku),

Maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih (QS Ibrahim <14>: 7).



Keempat, sabar menghadapi keluarga dari pihak suami atau istri. Dalam sebuah

hadis, Rasulullah SAW mengungkapkan bahwa pernikahan itu mengawali

bertemunya dua keluarga besar. Karena pertemuan dua keluarga, maka yang

nikah bukan aku, tapi kami. Berkaitan dengan hal ini, Imam Syafi'i

menganjurkan agar orangtua memilihkan jodoh untuk anaknya, dengan

catatan anaknya harus saling mencintai.



Siapa pun yang akan menikah, maka ia harus siap punya ayah dua dan ibu dua.

Ia pun harus siap menghormati mertua sebagaimana menghormati kedua

orangtuanya.



Sabar adalah sebuah keniscayaan. Karena itu, dalam QS Az-Zumar ayat 10,

Allah SWT menjanjikan pahala luar bisa bagi orang yang sabar,

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala

mereka tanpa batas. Wallahu a'lam.





Wassalam & Best Regards



Kang Didi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar