Kamis, 10 Juni 2010

Dzikir, Tak Hanya Pembasah Bibir

Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan. Tanpa air, ikan akan mati. Begitupun
hati yang tak pernah disiram dengan dzikrullah. Tidak kurang dari seratus
faedah dzikrullah yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam
al-Wabil ash-Shayyib.
Bagi hati, dzikir bisa membuat tenang, sebagaimana firman-Nya,
“Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS.
ar-Ra’du: 28)

Setan juga terhalang untuk menggodanya. Ibnu Abbas menjelaskan makna
al-waswas al-khannas, “Sesungguhnya setan itu memantau kondisi hati anak
Adam, jika ia lalai dari dzikir maka dia menggoda (waswasa), jika ia
dzikrullah, maka setan akan menjauh (khanasa).”
Maka, dzikir yang benar akan terpancar dalam perilaku zhahir. Karena ia
selalu mengingat Allah, merasa diawasi oleh Allah, sehingga bersemangat
untuk beramal shalih, takut dan malu berbuat maksiat.

Jika dzikir yang kita kerjakan belum membekas dalam tindakan nyata, maka ada
yang tidak beres pada dzikir yang kita lakukan. Mungkin lafazh atau cara
yang tidak sesuai dengan sunnah, atau hati yang tidak sejalan dengan lisan,
atau tidak paham makna ucapan yang kita baca. Atau bisa jadi, tanpa sadar
kita telah memisahkan antara dzikir dengan perilaku dhahir. Padahal,
dzikrullah memiliki dua syarat, hadirnya hati dan kesungguhan jasad (untuk
menunaikan tuntutannya), seperti dijelaskan Ibnu al-Jauzi t dalam
at-Tadzkirah fil Wa’zhi.

Atha’ bin Abi Rabah juga mengatakan, “Yang dimaksud dzikir adalah
tha’atullah, maka barangsiapa yang taat kepada Allah maka dia tengah
berdzikir kepada Allah, dan barangsiapa yang bermaksiat, maka dia tidak
dikatakan berdzikir, meskipun ia banyak membaca tasbih dan tahlil.”

Inilah bekas yang paling nyata dari dzikir, bukan sekedar menangis saat
mengikuti acara dzikir, tapi tertawa saat bermaksiat. Imam Ibnul Jauzi t
mengingatkan dalam bukunya Talbis Iblis (Perangkap Iblis), “Banyak orang
yang menghadiri majelis dzikir, ikut menangis dan menampakkan kekhusyu’an,
tapi di luar itu mereka tidak meninggalkan praktik riba, curang dalam jual
beli, tidak membenahi kekurangannya dalam memahami rukun-rukun Islam, tidak
berhenti menggunjing dan mendurhakai orang tua. Mereka adalah orang-orang
yang diperdaya oleh Iblis, sehingga mereka beranggapan bahwa majelis dzikir
itu bisa menghapus dosa-dosa mereka.”

Dzikir bukan pula sekedar pembasah bibir, tapi tuntutan dzikir adalah amal
ketaatan itu sendiri. Memang Nabi n menyuruh kita membasahi lisan kita
dengan dzikrullah,

“Hendaknya lisanmu selalu basah dengan dzikrullah.” (HR Tirmidzi, Ibnu
Majah)

Tapi, tentu yang dimaksud bukan hanya membasahi bibir. Hadits itu merupakan
kinayah (kiasan) tentang anjuran memperbanyak dzikir dan melaziminya,
sebagaimana dijelaskan oleh al-Mubaarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, syarah
Sunan Tirmidzi. Wallahu a’lam. (Abu Umar A)
sumber : www.ar-risalah.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar